FWAR

MEDIA INDEPENDENT ONLINE FORUM WARTAWAN DAN AKTIVIS REPORMASI ( FWAR )

fiks

fiks
DPP FWAR

Selasa, 21 Februari 2017

YANG MANA SATU SEBAGAI SEJARAH PALAGAN BOJONGKOKOSAN




Tank Stuart bukti sejarah yang sebenarnya tetapi entah bagaimana menurut salah satu nara sumber sebuah Organisasi yang ada di Sukabumi mengatakan “Persenjataan Jaman belanda termasuk Tank Stuart di bawa ke Jakarta dan yang lainnya di bawa ke museum Bandung tanpa persetujuan dan tanpa di ketahui Anggota Veteran Kabupaten Sukabumi, dan kini di tugu Palagan Bojongkokosan tampil kebohongan sejarah dalam tampilan yang lain”. Pimpinan Resimen III Siliwangi pada saat itu adalah Letkol Eddie Sukardi mengatakan “sejarah Bojong Kokosan akan di buat sejarah Nasional” tetapi sampai beliau meninggal Dunia cita-citanya tidak terwujud, karena bukti-bukti sejarah hasil rampasan dari Kolonial belanda lenyap.

Semasa Hidupnya Purnawirawan Letkol. Eddie Sukardi mengatakan “Jika Pertempuran Surabaya Melahirkan Hari Pahlawan, Pentempuran Ambarawa melahirkan hara infantri, Pertempuran Bojong Kokosan yang tercatat Pertempuran terdasyat di se-pulau jawa hanya melahirkan hari depan penuh harapan”.

Pertempuran Besar Pasca Kemerdekaan yang Terlupakan Pencegatan konvoi Tentara Sekutu dari Jakarta menuju Bandung di Desa Bojong-kokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi pada 9 Desember 1945 belum pernah dicatatkan dalam sejarah nasional Indonesia. Padahal, peristiwa itu layak disejajarkan dengan peristiwa 10 November di Surabaya. Peristiwa Bojongkokosan pada tanggal 9 Desember 1945 adalah awal dari serangan – serangan yang disusun oleh TKR pimpinan Letnan Kolonel Eddie Sukardi. Peristiwa ini kemudian menjadi pemicu awal dalam peristiwa yang kita kenal dengan perang konvoi dan merupakan perang konvoi pertama (The Firs Convoy Battle) tanggal 9 sampai dengan 12 Desember 1945 penghadangan sepanjang 81 Km mulai dari Cigombong (Bogor) sampai Ciranjang (Cianjur) telah mengakibatkan banyak korban dari kedua belah pihak, pihak sekutu : 50 orang meninggal, 100 orang luka berat dan 30 orang menyerah. Koraban di pihak pejuang : 73 orang meninggal sedangkan perang konvoi kedua pada tanggal 10 sampai dengan 14 maret 1946 Sukabumi merupakan daerah perkebunan yang menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan yang baik bagi Belanda/NICA. Faktor inilah yang mengakibatkan sekutu datang ke Sukabumi kondisi demikianpun telah melahirkan sebuah “asumsi” yang mengatakan bahwa “apabila ingin menguasai Jakarta harus dapat menguasai Jawa Barat dan apa ia ingin menguasai Jawa Barat, kuasai dulu Sukabumi”.

Hal ini pulalah yang juga turut membakar semangat para pejuang untuk mempertahankan Sukabumi sampai titik darah penghabisan. Salah satu upaya mempertahankan Sukabumi dari serangan musuh adalah mengatur strategi dan rencana yang matang Resimen III yang di tugasi operasi penghadangan konvoi pasukan sekutu mengadakan Herdiskolasi Batalayon – batalayonnya. Oleh karena itu, para pejuang Sukabumi berusaha mempertahankan Sukabumi dengan sekuat tenaga agar tidak jatuh ke tangan Belanda. Komandan Resimen III, Letkol Edi Sukardi memberikan instruksi untuk berdislokasi pasukan, yaitu batalyon yang berkedudukan di kota Sukabumi dipindahkan ke luar kota atas dasar strategis dan teknis pertempuran. Pertempuran pertama antara tentara Sekutu dengan para pejuang Sukabumi terjadi di daerah Gekbrong. Pertempuran terjadi karena adanya serangan para pejuang Sukabumi terhadap konvoi Sekutu/NICA yang menuju Bandung. Akibat serangan itu, tentara Sekutu dan NICA kembali datang ke Sukabumi dengan konvoi besar sebanyak kurang lebih 100 truk(Badan Pengelola Monumen Pa-lagan Perjuangan 1945, 1986: 15).

TKR dan laskar rakyat yang mengetahui akan kedatangan tentara Sekutu,berkumpul di daerah Gekbrong sekitar 10.000 orang. Pada pukul satu siang didaerah Pancuran Luhur (tidak jauh dari Gekbrong) terjadi pertempuran sengit antara pejuang Sukabumi melawan tentara Sekutu. Pertempuran berlangsung sampai pukul 17.00 sore. Akibat perbedaan senjata menyebabkan para pejuang Sukabumi tidak dapat menahan serangan Sekutu. Untuk meng-hindari korban yang lebih banyak, TRI dan laskar rakyat mundur dan membiarkan tentara Sekutu me-lanjutkan perjalanan ke arah Bogor(wawancara dengan Mohtar K, tanggal 12 Juni 1997). Pertempuran terus merembet ke daerah lain. Pada tanggal 2 Desember 1945 mulai terjadi pertempuran di daerah Bojong Kokosan. Pada tanggal 9 Desember 1945, para pejuang Sukabumi melakukan penghadangan terhadap konvoi tentara Sekutu sehingga terjadi pertempuran yang dasyat. Pertempuran ini dikenal sebagai Peristiwa Bojong Kokosan, yang menimbulkan korban yang banyak dikedua belah pihak. Peristiwa di atas terjadi, berawal dari adanya berita yang diterima para pejuang Sukabumi di Pos Cigombong, bahwa tentara Sekutu sedang menuju Sukabumi.

Mendengar berita tersebut, Kompi III yang dipimpin Kapten Murad dan kepala seksi I dan seksi II serta laskar rakyat Sukabumi berusaha menduduki tempat pertahanan di pinggir (tebing) utara dan selatan Jalan Bojong Kokosan. Barisan TKR yang ikut terlibat dalam peristiwa Bojong Kokosan diperkuat 165 orang yang bersenjata senapan Ediston/ Hamburg, Bou-man/Double Loap, Pistol Parabelm, granat tangan, dan senjata tajam (golok, tombak, dan bamboo run-cing) serta senjata buatan sendiri berupa botol berisi bensin yang di-sumbat karet mentah yang disebut "krembing" (granat pembakar). Sedangkan laskar rakyat didukung oleh Barisan Banteng pimpinan Haji Toha, Hisbullah pimpinan Haji Akbar, dan Pesindo. Barisan laskar rakyat bersenjatakan Kara-ben Jepang, pistol, dan bom molotov(Badan Pengelola Monumen). Sekitar pukul 15.00, konvoi tentara Sekutu datang. Konvoi di-dahului dengan tank, panser wagon, 100 truk berisi pasukan Gurkha dan pembekalan, serta dilindungi 3 pesawat terbang pemburu. Pada saat mendekati Bojong Kokosan konvoi berhenti karena terhalang barikade yang dibuat para pejuang Sukabumi. Adanya barikade ter-sebut membuat tentara Sekutu terlihat panik dan bersiaga. Pada saat itulah, Kapten Murad, komandan kompi III memberi isyarat dengan tembakan dua kali, sebagai tanda mulai penyerangan. Terjadilah pertempuran sengit.

Para pejuang segera melemparkan granat tangan, granat krembing, dan tembakan. Serangan ini mengakibatkan korban jatuh di pihak tentara Sekutu (wawancara dengan M. Sholeh Shafei, tanggal 12 Juni 1997). Dalam situasi kacau, koman-dan tentara Sekutu berhasil meng-konsolidasi pasukannya dan mengetahui lakasi pertahanan para pejuang Sukabumi. Tentara Sekutu segera menembaki kubu-kubu pertahanan para pejuang dengan senjata berat dari tank dan panser. Tanah tebing yang dijadikan kubu pertahanan jebol dan longsor sehingga beberapa pejuang yang berada di kubu pertahanan terjatuh ke jalan raya yang berada di bawahnya. Para pejuang yang jatuh tersebut menjadi sasaran empuk senjata tentara Sekutu. Dalam situasi yang tegang, tiba-tiba sebuah panser kecil berhenti di depan salah satu kubub pertahanan. Panser tersebut berpenumpang dua orang. Salah seorang memakai baret hitam dan seorang lagi memakai ubel-ubel yang diperkirakan sebagai pim-pinan pasukan. Salah seorang penumpang keluar dari kendaraan dan melihat sekelilingnya. Dia mengira situasi telah aman dan dengan santai mengisap rokok cangklong sambil tertawa-tawa.
Tentara TRI yang berada di tebing mendapat perintah dari komandan seksi II agar menembak tentara Sekutu yang memakai baret hitam. Tembakan mengenai sasaran dengan tepat. Melihat temannya tertembak, tentara Sekutu yang berada di dalam mobil berusaha menolong. Pada saat mereka turun dari mobil diberondong oleh tembakan tentara TKR dan laskar rakyat. Adanya kejadian tersebut, tentara Sekutu meningkatkan ke-waspadaan. Mereka melakukan gerakan melambung dari samping dan belakang untuk mengurung dan menyergap tentara TKR. Dengan demikian, kedudukan TKR menjadi terjepit dan panik karena kehabisan peluru.

Pada saat yang kritis, tiba-tiba turun hujan lebat disertai kabut. Suasana menjadi gelap sehingga para pejuang berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Sekutu. TKR seksi II yang dipimpin Letnan Muda D. Kusnadi mundur ke arah Parungkuda. TKR seksi I yang dipimpin Letda Mustar mundur ke arah perkampungan Bojong Kokosan atau sebelah utara (sekitar 300 meter) dari medan pertempuran (Badan Pengelola Monumen).

TKR yang bergerak mundur secara diam-diam diikuti oleh ten-tara Sekutu. Tentara Sekutu naik ke atas bukit dan menembakkan mortir ke bekas pertahanan TKR. Tembakan tersebut salah sasaran, bukannya mengenai para pejuang melainkan mengenai tentara Sekutu sendiri. Korban pun jatuh di pihak tentara Sekutu. Pada saat hujan reda dan cuaca kembali cerah, terdengar bunyi peluit dari tentara Sekutut sebagai tanda pertempuran telah selesai. Pada saat itu, sisa tentara Sekutu yang ada segera naik ke kendaraan sambil membawa rekan-rekannya yang telah menjadi korban. Tentara Sekutu meninggalkan Bojong-kokosan menuju Sukabumi dan sepanjang perjalanan mereka me-nembakkan senjata secara membabi buta(wawancara dengan M. Mohtar, tanggal 12 Juni 1997). Setelah pertempuran di Bojong Kokosan berakhir, maka satu regu TKR memeriksa bekas pertempuran. Setelah diperiksa ternyata TKR telah kehilangan 73 orang, yaitu 28 orang gugur (pasukan yang menempati tebing bagian bawah pinggir jalan seperti Suban dan Aceng), dan 45 orang gugur di sepanjang jalan Bojong Kokosan. Tentara Sekutu yang gugur diperkirakan sebanyak 50 orang. (Sumber: Museum Bojong Kokosan).

Adanya tembakan tentara Sekutu yang dilakukan dalam gerakan menuju Sukabumi dibalas oleh para pejuang Indonesia. Pertempuran terus berkobar sepanjang jalur Bojong Kokosan sampai perbatasan Cianjur, seperti di Ungkrak, Selakopi, Cikukulu, Situawi, Ciseureuh sampai Degung; dan Ngaweng, Cimahpar di Pasekon Sukaraja sampai Gekbrong. Serangan terhadap tentara Sekutu mendapat bantuan rakyat yang ada di sekitar daerah tersebut(Rusman Wijaya,1996: 67). Pada saat tentara Sekutu tiba di Sukabumi, Komandan tentara Sekutu segera mengajak berunding para pemimpin TKR dan pe-merintah setempat, yaitu Letkol Edi Sukardi (Komandan Resimen III), Bupati dan Walikota Sukabumi, dan Dr Abu Hanifah. Tentara Sekutu minta dilakukan gencatan senjata. TKR dan pemerintah setempat menyetujui usul tersebut dan menginstruksikan penghentian tembak menembak. Pada kenyataannya, tentara Sekutu sendiri yang bertindak curang dengan tidak mentaati ke-sepakatan gencatan senjata. Pada tanggal 10 Desember 1945, tentara Sekutu membombandir Cibadak dari udara melalui pengeboman beberapa pesawat tempur. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk balas dendam atas banyaknya korban di pihak tentara sekutu pada pertempuran sebelumnya. Menurut catatan sejarah, pengeboman udara tersebut sebagai serangan udara terbesar setelah jaman perang dunia kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar