Bukti
Investigasi, Sukabumi.
Kejadian yang di duga Drs. H. ZEZEN ZAENUDIN. M. Ag.
melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Adata – data dalam Buku/ Kutipan Akta Nikah
dengan Nomor register/ Nomor Buku 4157901, yang di terbitkan di Jakarta 24
Februari 2015 M (Masehi)/ 05 Jumadil Awal 1436 H (Hijriah), yang di
tandatangani oleh Menteri Agama RI LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN. Adapun terjadinya
Pemalsuan Kutipan Akta Nikah tersebut di
wilayah Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi, yang diduga dilakukan oleh
Oknum Kepala KUA yang bernama Drs. H. ZEZEN ZAENUDIN. M. Ag.
Buku/ Kutipan Akta Nikah dengan Nomor :
201/45/IV/2016. Terjadinya Pernikahan paha Hari Rabu Tanggal 27 April 2016/ 19
Rajab 1437 H. nama yang melangsungkan pernikahan menurut catatan Kutipan Akta
Nikah yaitu AHMAD H BIN SOBANDI, lahir di Sukabumi, 27 Maret 1980 dengan Nomor
Induk Kependudukan 3273062703800003, kewarganegaraan Indonesia, Agama Islam,
Pekerjaan PNS dan menurut Kutipan Akta Nikah beralamat di Kp. Pojok RT 2 RW 2,
Menikah dengan seorang wanita yang bernama DIAN M S BINTI ASEP S Lahir di
Sukabumi pada Tanggal 20 Maret 1982, Nomor KTP : 32229XXX, Kebangsaan
Indonesia, Agama Islam, dengan Pekerjaan IRT (Ibu Rumah Tangga), Alamat di Kp. Pojok RT 2 RW 2, dengan Wali Nikah
ASEP S Kewarganegaraan Indonesia dan beragama Islam, dengan Mas kawin berupa :
PERHIASAN MAS (Tunai), Kutipan Akta Nikah yang di terbitkan oleh KUA Kecamatan
Cireunghas/ Perwakilan RI, Pegawai Pencatat Nikah yang di tandatangani oleh
kepala KUA Cireunghas Drs. H. ZEZEN ZAENUDIN. M. Ag. NIP 19660321 199103 1003.
Cap/ Stempel KUA Cireunghas Atas nama KEMENTRIAN AGAMA REPULIK INDONESIA di
terbitkan Kutipan Akta Nikah di Wilayah Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi
pada Tanggal 21 April 2016.
terkait dengan dugaan berikut di atas maka hasil
klarifikasi dan konfirmasi, dengan Ilustrasi catatan Jurnalistik sebagai
berikut :
Bahwa
dalam Catatan Jurnalistik Kepala KUA ZEZEN ZAENUDIN Pada saat di konfirmasi Pada bulan September 2016 pukul 11:00 WIB
bertempat di kantor KUA Cireunghas Kabupaten Sukabumi oleh
Media BI (Bukti Investigasi)/ Team Investigasi DPD PWRCPK Prov. Jawa Barat
mengatakan “awalnya saya kedatangan Sdr.
Epul dengan Sdr. Ahmad (ahmad H) ingin mempunyai Buku Nikah dari KUA
Cireunghas, lalu saya terbitkan buku nikah tersebut dengan harga Rp. 1,5jt” lalu
ZEZEN ZAENUDIN menjelaskan bahwa Alamat Kp. Pojok RT 2 RW 2 bukanlah alamat
AHMAD H dan DIAN MS yang sebenarnya atau apa yang tertera di Buku Nikah, begitu
juga dengan pengakuan Kepala KUA tersebut Kepada BI bahwa Nomor KTP mereka
bukanlah Nomor KTP yang sebenarnya. dengan Penerbitan Kutipan Akta Nikah itu tidak ada Kegiatan Pernikahan seperti yang ada di
dalam Kutipan akta Nikah tersebut, di samping itu ZEZEN ZAENUDIN juga
mengatakan tentang kariernya yang Meroket “Saya
Sebagai kepala KUA juga sebagai Dosen di
STAI Samsul Ulum, Sekarangpun Saya akan menyandang gelar Doktor S3 dari UIN”
demikian Penjelasan dari Kepala KUA Cireunghas yang tidak mau menjawab hal-hal
yang lainnya lagi dalam kata lain tidak mau di konfirmasi lengkap menyangkut
Akta Nikah.
Begitu
juga DIAN MS menerangkan kronologis
kepada Team BI “ bahwa AHMAD H meminta
sejumlah Uang Rp.1.5Jt kepada saya untuk pembuatan Buku Nikah, adapun buku
nikah yang dia buat di KUA mana, saya tidak tahu, saya juga merasa heran ketika
membaca isi Buku Nikah tersebut karena Alamat Saya dan dia bukan alamat yang
sebenarnya, lalu yang lainya seperti Nomor KTP, itu tidak sama dengan Nomor KTP
yang saya miliki” begitulah keterangan DIAN MS, setelah menghela napas lalu
dia melanjutkan critranya “pernikahan
Saya dengan AHMAD H sebenarnya bukan menurut keterangan Buku nikah tersebut,
‘kan di buku nikah menerangkan bahwa Saya dengan AHMAD H menikah di bulan April
2016, padahal saya dengan Ahmad H itu Menikah Sirih bulan Agustus 2016, di
saksikah oleh Papih (Asep S) Saya, begitu Pak.” Demikian keterangan Dian MS sambil matanya berkaca-kaca, Dian-pun
mengatakan bahwa Dia menyesal menikah dengan Ahmad Hamidi, lalu dia melanjuka
Kronologinya “Saya menikah Sirih dengan
Ahmad H tidak lama, kurang lebih hanya satu bulan, karena Ahmad H bukan seorang
laki-laki yang baik, saya sudah cape perasaan saya di sakiti terus sama dia,
ternyata dia banyak berbohong sama saya”.
AHMAD H
ketika di datangi Team Bukti Investigasi dari DPD PWRCPK Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus Provinsi Jabar ke alamat
yang sebenarnya di Kp. Cicadas Kota Sukabumi ternyata dia selalu tidak ada di
tempat, Pekerjaannya-pun tidak jelas. Jika menurut keterangan Akta Nikah bahwa
Ahmad H adalah PNS, menurut keterangan Pekerjaan yang ada di KTP-nya adalah PNS
Tapi menurut Dian MS “Pekerjaannya dahulu
Pernah kerja honor di (UPI) Universitas Perguruan Indonesia, dan Sudah 1 Tahun
yang lalu di Pecat, entah persoalan apa dan sekarang pekerjaannya tidak jelas” begitu
menurut keterangan Dian MS.
Di balik itu Dian MS menjelaskan pula kepada Team Bukti Investigasi tentang bahwa
Dian mempunyai AKTA
CERAI NOMOR 475/AC/2016/PA/Msy*) Cbd, berdasarkan Putusan Pengadilan
Agama Cibadak Nomor : 0168/Pdt.G/2016/PA.Cbd. 11 April 2016 M. (Bukti Akta
Cerai ini antara DIAN MS dengan TARKHIM S. T bin SUWASDA) sewaktu Diana belum
menikah dengan Ahmad H. dan jika kita simak perjalanan Perkara ini, Perceraian
Dian MS dengan Tarkim Tanggal 11 April 2016 sedangkan yang tertera dalam Buku
Nikah Keluaran Drs. H. ZEZEN ZAENUDIN. M. Ag. bahwa Pernikahan terjadi pada Tanggal 27 April 2016,
antara Dian MS dengan Ahmad H, berarti Dian MS
baru 16 Hari Menjanda dan menurut Aturan Hukum Islam bahwa sebelum 100
Hari belum Syah untuk menikah dengan Laki-laki lain selain Tarkim S. T. berarti
Kepala KUA Drs. H. ZEZEN ZAENUDIN. M. Ag. sudah menikahkan Istri Orang lain, apa
dengan Prilaku Kepala KUA di benarkan secara Presudur, Aturan atau Undang-undang???,
jika menabrak Kesemuanya itu berarti Melanggar dan Harus di Proses secara
demikian juga.
bahwa Prilaku
Oknum Kepala KUA Cireunghas Kabupaten Sukabumi telah merugikan yang begitu
besar baik berupa materi maupun inmaterial bagi moral Negara dan Bangsa ini
dari mulai Pemalsuan Data-data dalam Buku/ Akta Nikah berarti Sistem
keterangan penanggungjawab Akta Nikah yang sudah Dijualnya untuk kepentingan
Pribadi di duga Biaya Pernikahan tidak di setorkan ke Negara Via Bank atau
laporan Pengeluaran Akta Nikah lewat Departemen Agama/ dan atau Kementerian
Agama juga sangat merugikan Masyarakat pada umumnya di Kecamatan Cireunghas
Kabupaten Sukabumi. Perkara ini terjadi dari tanggal 27 April
2016 sampai dengan hari ini sudah 8 bulan Permasalahan ini Baru terungkap.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dan bukti – bukti
terkait telah mengakibatkan kerugian besar berupa materi dan inmateril dengan
tercorengnya Nama baik Intansi/ Departemen Agama itu sendiri serta merugikan
Moral Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara di duga melakukan
Pemalsuan data-data dalam Kutipan Akta Nikah dan Menyalahgunakan Kewenangan
yang mungkin akan menghambat Kepercayaan
Masyarakat dalam Pelayanan Khususnya di KUA Cireunghas Kabupaten
Sukabumi dan pada Umumnya di Kementrian Agama RI, di samping itu Selain
Pemalsuan data-data dalam Akta nikah di duga kuat dalam Pemalsuaan Nomor
KTP, Alamat, wali pernikahan dan Penipuan hari Pernikahan pada tanggal yang di
terbitkan di Akta Nikah tersebut. Seolah benar adanya Pernikahan. Di duga pula
telah melakukan Penggelapan terhadap laporan data dalam Akta Nikah ke
KANDEPAG yang sudah di keluarkan oleh Kepala KUA Cireunghas Kabupaten Sukabumi
untuk kepentingan Pribadi, lalu Penipuan-nya terhadap Publik bahwa dalam
keterangan Akta Nikah yang di terbitkan seolah pada hari dan Tanggal tersebut
benar-benar telah terjadi Pernikahan antara Dian MS dengan Ahmad H yang di
saksikan oleh Wali Nikah Asep S.
Berdasarkan Surat-surat yang ada dalam hal ini Jelas
sudah menyalah gunakan Jabatan dan Wewenang Sebagai Kepala KUA Cireunghas
Kabupaten Sukabumi, Peraturan dan perundang-undangan Pemerintah Tentang Jabatan
dan Wewenang, juga Tentang Pemalsuan dan Penggelapan dan atau Penipuan yang merugikan keuangan negara merupakan salah
satu bentuk tindak pidana.
Untuk itu diminta bagi Penegak hukum dapat bertindak
cepat melakukan penyelidikan serta menindak lanjuti kasus ini sesuai dengan
Hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak merugikan
Moral Bangsa dan tidak ada lagi Perbuatan yang melawan Hukum dengan modus yang
sama dan demi Tegaknya Supremasi Hukum serta kewibawaan Hukum dimata
masyarakat.
Berlandaskan seperti yang disebutkan dalam Landasan
Hukum, Umum dan Pokok Permasalahan, serta hal - hal lainnya seperti yang disebutkan
diatas. Mengingat atas tindakan Drs.
H. ZEZEN ZAENUDIN. M. Ag. sudah merugikan banyak Pihak dari mulai Nama baik
Lembaga/ Intansi, Citra PNS dan Jabatannya juga merugikan Masyarakat banyak
serta mencoreng Moral Bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arti
menyalahgunakan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu:
1. Melanggar aturan tertulis yang
menjadi dasar kewenangan
2. Memiliki maksud yang menyimpang
walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan
3. Berpotensi merugikan negara
Sedangkan
konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu:
1. Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2. Abuse de droit atau sewenang-wenang
bunyi
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana
yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K / Pid / 1992
tanggal 17 Februari 1992
(“Putusan MA”) sewaktu adanya
perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara "Sertifikat
Ekspor". Mahkamah Agung RI mengambil alih pengertian "menyalahgunakan
kewenangan" yang ada pada Pasal 53
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”)
yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut atau yang dikenal dengan "Detournement de pouvoir".
pada
Putusan MA ini juga dibahas soal pengertian Detournement de pouvoir.
Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian
penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3
wujud, yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau
untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum,
tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan
tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;
Menyimpang
dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
Asas-Asas
Umum penyelenggaraan negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme meliputi, a. Asas kepastian hukum; b. Asas tertib penyelenggaraan
Negara; c. Asas kepentingan umum; d. Asas keterbukaan; e. Asas
proposionalitas; f. Asas profesionalitas; dan g. Asas akuntabilitas.
Pelaku pencurian adalah
manusia, sekumpulan manusia dan/atau badan hukum (1)yang melakukan tindak
pidana pencurian (dader, pleger), (2)yang menyuruh atau (3)menggerakkan pelaku
tindak pidana pencurian benda berwujud, (4)yang ikut, turut, dan/atau (5) yang
membantu tindak pidana pencurian.
Pada KUHP Jerman, pencurian
dibatasi hanya untuk benda berwujud bergerak, di Indonesia tidak berbatas
sebatas benda bergerak (agar memenuhi syarat dapat dipindahkan, dapat diambil,
dapat disermbunyikan pencuri), bernilai ekonomi & dapat diperjual-belikan.
Pencurian mencakupi pula plagiat, formula rahasia, perangko atau karcis kereta
api habis pakai, surat, kunci ruangan, anak gadis belum dewasa secara hukum dan
pencurian surat keterangan dokter.
Ancaman
pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pada
hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara
negara dan bukan merupakan suap. Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan
oleh si pemberi gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.
Perbedaan
prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut diatas dengan
penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan
tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap kerugian negara atau
kerugian perekonomian negara, sedangkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan
pada Pasal 3, mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau
kerugian perekonomian negara.
Jika
dilihat pada penanganan kasus pejabat yang menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, hampir terjadi pada setiap
Kementerian dan Lembaga, termasuk pada Kementerian Agama juga tidak luput dari
adanya pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Upaya dari
pemerintah untuk memerangi korupsi dan dalam rangka percepatan pemberantasan
korupsi, Presiden melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004, telah menginstruksian
kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu agar melakukan langkah dan
program kongkrit percepatan pemberantasan korupsi; Kemudian Inpres Nomor
9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Terakhir
Inpres No 2 Tahun 2014 tanggal 21 Maret 2014 tentang Aksi Penceghan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2014. Semakin gencar upaya pemerintah untuk
memberantas Korupsi ini, tetapi kenyataannya korupsi bukan berkurang, Korupsi
makin menggeliat untuk meningkat. Bahkan realitas korupsi telah dilakukan oleh
orang-orang yang berasal dari “Lintas Kekuasaan”.
(1) Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau
yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau
yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Untuk
dapat dihukum dengan Pasal 263 KUHP, menurut R. Soesilo (Ibid, hal. 196) perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur
berikut ini:
1. pada waktu memalsukan surat itu
harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat
itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
2. penggunaannya harus dapat
mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan
adanya kerugian itu sudah cukup. Yang diartikan kerugian di sini tidak saja
hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan
masyarakat, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya (immateriil).
3. yang dihukum menurut pasal ini tidak
saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. “Sengaja”
maksudnya orang yang menggunakan itu harus menheathui benar-benar bahwa surat
yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu, tidak dihukum.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG
BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME Presiden Republik Indonesia. Menimbang: a. bahwa Penyelenggaraan
Negara mempunyai peranan yang
sangat menentukan dalam penyelenggaraan Negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945. b.
bahwa untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab,
perlu diletakkan asas-asas
penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggara Negara melainkan juga
antara Penyelenggaraan Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi
negara, sehingga diperlukan landasan hokum untuk pencegahannya; d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu
dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; BAB
III ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA Pasal 3 Asas-asas umum
penyelenggaraan negara meliputi: 1.
Asas Kepastian Hukum; 2. Asas
Tertib Penyelenggaraan Negara; 3.
Asas Kepentingan Umum; 4. Asas
Keterbukaan; 5. Asas
Proporsionalitas; 6. Asas
Profesionalitas; dan 7. Asas
Akuntabilitas.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
(2) Hubungan antara Penyelenggara
Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal
9
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan
yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat
secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan
hukum dalam hal:
1). Melaksanakan haknya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2). Diminta hadir dalam proses
Penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi,
atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Undang-Undang
No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP)telah dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa
informasi adalah hak dasar semua warga negara. UU KIP memberikan kewajiban
kepada setiap badan publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi
publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.
Rendahnya pemahaman para pejabat
negara, baik pada pejabat pemerintah dan juga lembaga negara inilah yang
menjadi penyebab dari tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Ketidak
transparanan pejabat negara, bukan saja pada ketertutupan data-data yang
seharusnya menjadi konsumsi publik, tetapi juga pada pejabat negara yang
melakukan pembohongan publik. Seperti informasi yang mereka berikan melalui
pelaporan-pelaporan resmi yang terkait dengan dokumen negara dan pemerintahan,
maupun pada waktu press conference, atau berbagai laporan dan informasi yang
dibeberkan di depan public, Kebohongan publik dan ketertutupan keduanya
mempunyai maksud yang sama, yaitu tidak memberikan informasi yang jujur dan
sebenarnya kepada publik.Jelas oknum pejabat seperti ini berusaha melawan hukum
dan undang-undang.
Pentingnya keterbukaan informasi
publik karena besarnya potensi konspirasi dan skandal korupsi di berbagai badan
publik dan institusi pemerintahan di negeri yang sangat besar serta memiliki
spektrum yang sangat luas ini.
Masyarakat harus menuntut
keterbukaan yang seharusnya diberikan oleh para pejabat negara, hanya dengan
tekanan yang kuat dari masyarakat, khususnya media masa, maka UU KIP dapat
efektif terselenggara di bumi pertiwi ini.Tekanan yang diberikan oleh
masyarakat dan press secara terus menerus akan menimbulkan efek yang memberi
pengaruh psikologis bagi para penyelenggara negara. Walaupun cara ini bukan
satu-satunya untuk meredakan budaya korupsi di negara kita, tetapi setidaknya
sudah menutup salah satu pintu untuk berbuat jahat terhadap kepentingan publik.
Untuk menghilangkan tindakan korupsi di negeri
ini memang tidak mudah. Kendati demikian, dengan mengawal pelaksanaan UU KIP
secara lebih maksimal, saya yakin Carut-marut korupsi sistemik dan korupsi
subversif yang dilakukan oleh para "aktor politik dan para
pejabat publik" di negeri ini lebih dapat
diminimalkan. Team BI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar